Genmuda – Hype film “Beauty and the Beast” engga lenyap meski filmnya udah tayang di bioskop. Gimana engga, roman fantasi yang sekarang dipopulerkan Disney dalam bentuk live action itu tampilin bintang-bintang beken dalam satu film.
Selain Emma Watson, Dan Stevens, dan Luke Evans, ada juga Sir Ian McKellen, Emma Thompson, Ewan McGregor, Stanley Tucci, Audra McDonald, sama Gugu Mbatha-Raw. Mereka juga pernah masuk nominasi berbagai penghargaan, termasuk Oscar.
Akan tetapi, ada juga beberapa kritik yang bilang kalo film dengan budget 160 juta dolar AS ini engga jauh lebih bagus daripada animasi jadulnya. Kira-kira, apa ya hal baik dan yang mengecewakan dari karya besutan sutradara Bill Condon ini? Selengkapnya di bawah ini:
Yang Baik
1. Akting
Kecuali Watson, Stevens, dan Evans, semua aktor yang langganan main drama dan film serius itu mampu munculin sosok jenaka. Bahkan Ian McKellen yang terkenal sarkas, cool, dan badass sebagai Gandalf di “Lord of the Rings” bisa berubah jadi Cogsworth si kepala pelayan istana yang kocak serta masuk kategori suami-suami takut istri.
2. Pilihan kata dan intonasi
Film Disney Princess ini sejatinya dibikin buat anak-anak, meski di Indonesia rilis untuk 13 tahun ke atas. Karenanya, pemilihan kata dan penyusunan kalimatnya engga boleh terlalu rumit. Stephen Chbosky dan Evan Spiliotopoulos yang nulis naskah berhasil bikin tiap dialog engga terlalu panjang, juga engga kependekan. Hasilnya engga ada satupun percakapan yang ngebosenin.
3. Tim produksinya kece
Kostum, make-up, pemilihan kuda yang ditunggangi, hingga tata lokasi indoor bener-bener keren. Meski mungkin engga 100% seperti di Prancis abad pertengahan, suasana yang dibangun bener-bener kayak negeri dongeng. Apalagi, waktu efek CGI nampilin betapa kerennya kastil sang Pangeran terkutuk.
Musiknya pun mantap. Penanggungjawabnya harus diberi lebih dari empat jempol karena berhasil membuat semua suara aktor yang nyanyi di film terdengar merdu. Sama sekali enggak ada yang fals. Editannya kedengeran bersih deh.
4. Motivasi Belle suka sama Beast
Media luar negeri banyak mengeritik “Beauty and the Beast” (1991) versi animasi nampilin stockholm syndrome. Itu adalah istilah psikologi yang kurang lebih artinya gejala seorang tawanan suka sama penawannya. Lain dari kartun lama, tim produksi nambahin tiga adegan penting yang bikin Belle bisa jatuh cinta sama Beast.
(AWAS SPOILER) Yaitu, waktu Beast menyelamatkan Belle dari serigala, kedua saat mereka ngomongin buku Romeo-Juliet karya Shakespeare, dan terakhir ketiga mereka sadar kalo mereka sama-sama orang buangan. Setelah itu, baru deh adegan pengungkapan perasaan di pesta dansa serasa lebih masuk akal.
5. Pesannya moralnya keliatan banget
Ada banyak pesan moral yang terkandung di film ini. Mengejar mimpi, hidup bebas, dan memberi ruang sama orang yang dicinta cuma salah satu yang tersurat. Pesan tersiratnya adalah mencintai keberagaman sesama manusia.
Kenapa Genmuda.com bisa ngomong gitu, karena pasangan-pasangan di dalam filmnya. Garderobe yang notabene berkulit hitam ternyata kekasihnya Maestro Cadenza yang berkulit putih. Plumette yang berkulit hitam juga pacarannya sama Lumiere yang berkulit putih. Sementara itu, Cogsworth dan Mrs Potts yang merupakan karyawan istana menikahnya sama rakyat jelata.
Yang Buruk
1. Semangat jamannya agak kurang
Biarpun properti dalam film udah mirip dengan Perancis abad pertengahan, semangat jamannya terasa agak kurang. Gini. Di masa itu, segala hal yang berhubungan sama penyihir pasti dimusnahin karena orang sangat percaya mistis. Bahkan kucing hitam yang mitosnya peliharaan penyihir pada dibunuh-bunuhin.
Di film ini, Belle yang mendatangi warga sambil bawa-bawa cermin ajaib malah lolos dari hukuman warga. Padahal, ada banyak perempuan yang diduga punya barang-barang sihir tewas sia-sia karena dipasung sambil dibakar hidup-hidup sama warga sepanjang sejarah Abad Pertengahan.
2. Status sihirnya engga dijelasin
Penjelasan sihir yang dijelasin di film cuma sang pangeran dikutuk jadi buruk rupa sementara seluruh staf istana jadi perabot. Sementara itu, warganya dibikin lupa sama istana itu. Tapi sama sekali engga ada penjelasan kenapa si Chip yang dikutuk jadi cangkir masih tetep jadi anak kecil meski waktu berjalan beberapa tahun.
Tau dari mana beberapa tahun? Pastinya dari kondisi taman istana. Tumbuhan merambat engga mungkin tumbuh menutupi seluruh pilar bahkan jadi semak dalam waktu itungan bulan. Apakah umur semua staf yang dikutuk jadi benda mati engga nambah sementara pangeran dan tanaman yang dikutuk jadi benda hidup tetep tumbuh berkembang? Atau, gimana nih?
3. Adegan gay yang engga jelas
Sayang banget adegan gay di film ini dibikin lucu karena karakternya keliatan feminim. Apakah itu maksudnya supaya bisa ditonton anak kecil yang belom paham bener soal isu gender? Kalo maksudnya emang gitu, kenapa sih gak dibikin bromance aja? Sama-sama gak keliatan kok.
Kalo gak percaya, coba deh tonton film “Legend” (2015). Dua karakter di film mafia Inggris itu ada yang bromance banget. Penonton baru tau kalo mereka berdua gay setelah salah satu karakternya ngomong soal itu di dialog. Kalo engga diomongin, pasti dikiranya temen deket doang. Setuju gak kalo itu lebih mending daripada jadi becandaan? Masa kaum gay diketawain, sih?
4. Identitas penyihirnya udah bocor di tengah film
Seharusnya, kemunculan penyihir di tengah dan akhir film bisa bikin semua penonton wah. Tapi sayangnya engga. Kalo kamu paham ciri dan gerak-gerik penyihir di semua film “Harry Potter” kamu bakalan bisa nebak di mana penyihir yang sebenarnya bersembunyi.
Masukin easter eggs soal film yang bikin nama Emma Watson beken sih boleh aja. Tapi, jangan dijadiin bocoran yang ngerusak kejutan-kejutan penting di filmnya, dong. Masih untung filmnya engga bener-bener jadi hampa.
5. Kayak engga ada senjata lain selain Emma Watson
Serius. Ini mengecewakan banget. Tim produksinya kayak engga punya senjata lain selain si cantik Emma Watson. Doi sering banget di-close up, mungkin tiap lima menit sekali. Bikin bosen saat terlalu sering.
Daripada buang waktu kebanyakan tampilin berbagai ekspresi pemeran utama sebesar layar bioskop, kenapa engga masukin adegan penghubung. Jadi, penonton engga bingung saat perpindahan adegan yang cukup jauh. Dari pagi ke malam, dari duduk ke berlari, atau dari dalam ke luar ruangan, misalnya. (sds)