Genmuda – Palari Films tunjukin karya anyarnya. Setelah raup Piala Citra 2017, rumah produksi penggarap “Posesif” itu angkat novel “Aruna dan Lidahnya” karya Laskmi Pamuntjak ke layar lebar buat tayang akhir September 2018.
Hal tersebut mengemuka pada konferensi pers di Jakarta, 31 Mei sore. Hadir di acara itu, dua produsernya Meiske Taurisia dan Muhammad Zaidy. Ada juga Edwin selaku sutradara dan Titien Wattimena selaku penulis naskah filmnya.
Bersama mereka, Dian Sastro, Nicholas Saputra, dan Hannah Al Rashid sebagai tiga pemeran utama bercerita pengalaman menggarap film itu. Satu pemeran utama, Oka Antara sayangnya berhalangan dateng.
Nah, dari ngobrol-ngobrol seputar filmnya, Genmuda.com punya gambaran umum tentang film yang sengaja diproduksi supaya agak lain dari isi bukunya itu. Biar kamu gak penasaran, ini loh pengalaman sedap di balik pembuatan filmnya.
Sebuah film tentang kuliner dan persahabatan
Para tim produksi ingin versi layar lebar “Aruna dan Lidahnya” lain dari versi buku, namun tetap pertahanin garis besar ceritanya. Secara umum, buku karya penulis sekaligus pengamat kuliner itu cerita kisah empat sahabat yang pergi wisata kuliner ke 10 kota di Indonesia.
Mereka menikmati sajian khas tiap kota sambil berceloteh, bercanda, dan curhat seputar apapun. Misalnya, seputar kehidupan pribadi, seputar pekerjaan, bahkan seputar percintaan. Nah, film ini pun akan digarap seperti itu.
Ada simpulan di versi layar lebar
Versi layar lebar digarap berbeda dari versi buku. Perbedaan mendasar ada di simpulan cerita. “Menurut saya, cerita dan isu yang tersaji di buku tidak disimpulkan secara terbuka. Nah, saya berusaha memberi simpulan atau akhir yang jelas dari narasi tersebut,” kata Edwin, sang sutradara.
Gak melulu fokus di makanan
Kepada rekan-rekan media, sutradara yang juga menggarap film “Posesif” itu bilang, “Aruna dan Lidahnya” gak akan melulu fokus pada makanan. “Justru, kami memfokuskan pada kegiatan, perjalanan, dan obrolan yang timbul saat empat karakter utama menikmati makanannya. Ini akan jadi film yang unik,” kata dia.
24 hari di 4 kota
Perbedaan selanjutnya terletak pada jumlah kota yang dijadiin latar tempat. Film itu disyuting selama 24 hari di 4 kota, yaitu Surabaya, Madura, Pontianak, dan Singkawang. Sementara itu, cerita di buku berlangsung di 10 kota.
“Menurut saya, empat kota itu sudah bisa mewakili kisah yang dibangun. Terlalu banyak kota malah membuat ceritanya terlalu rumit,” kata Edwin.
Teringat masa kecil
Secara terpisah, Dian Sastro bilang penggarapan filmnya berlangsung santai dan lebih terasa seperti liburan daripada bikin film. Namun, pengalaman itu sampai bikin dia merefleksikan momen masa kecilnya.
“Waktu kecil saya merasa makan adalah sebuah hukuman. Mungkin, itu karena mbak (asisten rumah tangga) saya gak bisa masak. Sekitar kelas enam, saya punya mbak baru yang masakannya enak. Sejak itu saya suka makan,” kata Dian.
Dian ngelanjutin, “Setelah itu saya baru merasakan sensasinya nasi, lauk, sayur, sambal, dan kerupuk yang ada di tiap suapan menyatu menjadi sebuah simfoni di lidah saya.”
Tantangan jadi Aruna
Kata Dian, karakter Aruna yang doi peranin beda dari karakter-karakter yang dimainin pada film terdahulu. “Sebelum jadi Aruna, saya berperan di sebuah film yang menuntut saya menunjukkan karakter serius. Sekarang, saya harus menunjukkan sifat jenaka saya,” kata doi.
Selain itu, Dian juga perlu mendalami karakter supaya gak salah akting ketika memerankan cewek single usia 30 tahun yang lebih senang wisata kuliner dan makan-makan daripada cari pasangan hidup.
Nicholas saputra mirip kayak Bono
Nicholas Saputra kembali jadi lawan main Dian. Di film itu, doi jadi Bono. Dia adalah chef andal yang rela masakin Aruna makanan-makanan tertentu dan nemenin cewek itu berburu makanan enak.
“Untung aku hobi masak untuk diri sendiri. Jadi, aku lebih mudah paham dalam mendalami karakter Bono yang seorang chef,” terang cowok yang terkesan sama rasa Bakmi Kepiting itu.
Hannah Al Rashid jadi kritikus
Karakter ketiga yang ikut dalam perjalanan Aruna-Bono diperanin sama Hannah Al Rashid. Dia adalah Nad-nad, kritikus kuliner yang hobi makan, jalan-jalan, dan jalan-jalan untuk makan. “Hidupnya enak banget,” kata Hannah mengomentari tokoh yang doi peranin.
Mewakili sifat kita
Kepada rekan media, Nicholas Saputra bilang, tiap karakter pada film tersebut mewakili karakter kita. “Penonton pasti akan menemukan banyak kesamaan dengan tiap karakter,” kata Nicholas.
“Soalnya, semua orang Indonesia kan suka makan, suka jalan-jalan, suka berteman, dan pastinya suka melakukan itu semua sambil ngobrol seru. Itulah inti sekaligus tantangan main film yang padat dialog ini,” kata Nicholas.
Gak muluk-muluk
Saat ditanya wartawan mengenai ambisi di balik penggarapan film kedua Palari Films tersebut, Muhammad Zaidy selaku produser bilang, “Kami gak muluk-muluk, kok. Doakan saja kembali masuk nominasi Piala Citra.”
Meiske Taurisia melanjutkan, “Sejak berdiri, Palari Films selalu bertekad mengangkat tema unik yang gak biasa ke layar lebar. Dan menurut kami, di situlah nilai lebihnya.” (sds)