Genmuda – “Maze Runner: The Death Cure” rilis di Indonesia, Rabu (24/1). Film garapan sutradara Wes Ball bareng rumah produksi Twentieth Century Fox itu visualisasiin novel ketiga dari trilogi utama Maze Runner dalam nuansa film koboi modern.
Sebelum lanjut, perhatiin satu prinsip penting ini. Saat ngomongin film adaptasi novel, jangan pernah bandingin keduanya supaya peroleh penilaian objektif. Keduanya adalah produk hiburan yang berbeda meski salah satunya teradaptasi dari yang lain.
Cerita di film ketiga itu bener-bener ngelanjutin film keduanya, “The Scorch Trials” (2015). Thomas (Dylan O’Brien), Newt (Thomas Brodie-Sangster), dan Frypan (Dexter Darden) udah akrab banget sama Brenda (Rosa Salazar), dan Jorge (Giancarlo Esposito).
Mereka juga udah gabung ke lingkaran dalam organisasi Right Arm di bawah pimpinan Vince (Barry Pepper). Setelah perencanaan berbulan-bulan, kini mereka mau ngebebasin Minho (Ki Hong Lee) yang diculik organisasi ilmiah jahat WCKD. Itu doang premis utama film ini.
Baru mulai langsung seru
Baru mulai, film ini langsung sajiin adegan penyelamatan Minho ala koboi modern. Di sebuah gurun berbukit-bukit pasir landai, kereta tahanan WCKD melaju membawa sejumlah anak-anak terpilih.
Jorge udah nunggu kedatangan kereta itu sejak beberapa saat lalu. Dari salah satu bukit pasir, dia memacu mobil offroad Right Arm ngejar keretanya. Brenda yang duduk di bangku co-driver dengan senapan karbin tembaki kaca gerbong masinis. Para petugas panik dan minta bantuan.
Dari belakang kereta, mobil offroad membawa Vince di bangku kemudi dan Thomas di bangku co-driver menyusul gerbong paling belakang. Keduanya loncat dari mobil ke gerbong kereta dengan adegan yang mendebarkan.
Namun, mereka ketahuan karena helikopter WCKD langsung mengejar. Jorge-Brenda pun putar arah untuk mancing perhatian helikopter supaya menjauh dari kereta, sementara Vince-Thomas terus berusaha bebasin tahanan di kereta itu.
Setelah adegan twist yang cukup seru tapi konyol dan terbilang gak masuk nalar, akhirnya tim Right Arm berhasil bajak helikopter dan kereta tahanan. Namun, gak ada Minho di gerbong tersebut. Maka, tugas Thomas belum selesai.
Western tapi kurang koboi
Secara sinematografi, sejumlah adegan di film ketiga ini mirip banget film western alias film koboi. Adegan pembajakan keretanya terasa kayak adegan anak buah Butch Cavendish membebaskannya dari tahanan kereta US Marshall di film “Lone Ranger” (2013).
Namun, cara kerja pembajakan keretanya enggak sebrilian para koboi bandit. Gini, gaes. Tiap pembajakan tujuannya pasti mengontrol objek. Oleh karena itu, hal pertama yang harus dilakuin adalah memutus kontrol pihak musuh terhadap objek itu.
Dalam pembajakan kereta, berarti gerbong masinis dahulu yang harus dikuasai kayak para bandit Butch Cavendish menghajar masinis kereta US Marshall. Atau, dengan cara menyabotase rel layaknya tim Lawrence of Arabia lumpuhin kereta perang Zaamurets Turki di game “Battlefield I” (2016).
Namun, tim Thomas sama sekali gak lakuin itu dan itulah kekeliruan pertama yang bikin misi bebasin Minho berlarut-larut selama 2 jam 22 menit. Kita harus memaklumi. Thomas hanyalah anak muda yang baru keluar dari kurungan labirin.
Sementara itu, Vince hanyalah pemimpin gerilya yang belum pernah bajak kereta sebelumnya. Namun demikian, plot-hole penulis novel tersebut berhasil divisualisasiin dengan epik sebagai film. Usaha yang perlu diacungi jempol.
Casting yang pas banget
Pada film ketiga inilah semua penonton paham alasan tiap aktor terpilih mainin peran masing-masing. Bisa dibilang lebay, tapi mereka kayak emang terlahir untuk peran-peran seperti itu.
Dylan O’Brien seolah bersikap natural sebagai pemuda labil yang penuh optimisme dalam sosok Thomas. Brodie-Sangster kayaknya emang seorang sahabat setia yang bikin semua orang cinta Newt.
Barry Pepper dengan rambut, kumis, dan brewok kayak Jenderal Custer emang terlahir peranin Vince si “komandan koboi.” Kaya Scodelario mungkin emang cewek tukang galau kayak si Teresa.
Namun demikian, akting yang paling pas dan keren jelas pemerannya Janson (Aidan Gillen). Kayak di serial “Game of Thrones,” Gillen tampil sebagai sosok misterius berwajah dingin yang baru ngeluarin kebengisannya pada titik-titik akhir.
Adegan ketika Janson, Thomas, dan Ava Paige (Patricia Clarkson) berkumpul di lobi gedung WCKD harus banget kamu perhatiin karena ekspresi, sinematografi, dan momen adegan itu pas banget. Janson bener-bener keliatan jahatnya.
Kesimpulannya, film bertema petualangan pemuda di dunia distopia ini oke, namun belum begitu puasin apabila penontonnya banyak mikir. Terima aja dinamika yang disajiin tim produksi filmnya, maka kamu pasti suka “Maze Runner: Death Cure.”
(sds)