Genmuda – Payung Teduh tinggalin warisan terakhir berupa album “Ruang Tunggu” sebelum menjelma jadi entitas baru tanpa vokalis sekaligus foundernya. Album ketiga itu sajiin 9 musik yang terdengar lain dari album-album sebelumnya.
Kabar penggarapan albumnya terdengar sejak November kemarin, bertepatan sama kabar kepergian Mohammad Istiqamah Djamad, alias Is, vokalis. Disusul kabar kepergian Abdul Azis Kariko, alias Comi, basis, album ini juga jadi kado perpisahan mereka dengan drummer Alejandro Saksakame dan Ivan Penwyn.
Tahun depan, ada kemungkinan keempatnya kumpul lagi. Tapi, bukan dalam bentuk Payung Teduh yang bawain album “Ruang Tunggu”. Melainkan, sebagai anggota musisi pengiring teater atau sebagai tamu sebuah musik.
Banyak perubahan
Lewat nomor populer “Menuju Senja,” “Resah,” “Berdua Saja,” “Angin Pujaan Hujan,” dan “Untuk Perempuan yang Sedang Berada di Pelukan,” Payung Teduh raih popularitas sekaligus keunikan mereka di dunia musik Tanah Air.
Lagu-lagu itu bangun dimensi lain, yaitu sebuah dimensi ketenangan yang melekat pada Payung Teduh sejak mengawali karier pasca Teater Pagupon, teater yang menggodok kemampuan seni anggotanya. Citra tersebut seolah dirusak di album ketiga.
Album yang dibuka dengan hits “Akad” itu terasa ngejazz. Pilihan nada dan liriknya terbilang gak mencerminkan kesenduan dan kesyahduan Payung Teduh selama lebih dari lima tahun belakangan.
Satu lagu yang Payung Teduh banget
Kawan Muda boleh percaya, boleh enggak. Tapi, menurut penulis cuma ada satu lagu yang “Payung Teduh” banget di album baru. Yaitu, lagu keduanya, “Di Atas Meja.”
Liriknya seolah tersampaikan langsung dari dalam hati tiap personil tanpa banyak editan. Kegalauan dan kelelahan terasa dalam lagunya, kayak orang yang tiba-tiba sadar kalo perasaannya terhadap pujaan hati hilang sejak beberapa saat lalu.
Saking kuatnya, lagu itu tenggelamin nomor ketiga sampai kesembilan. Album “Ruang Tunggu” pun seolah dibuat untuk sampaikan pesan dalam lirik lagu “Di Atas Meja” kepada para fans. Lagu lain hanya tambahan yang dibuat terburu-buru.
Usaha yang patut diapresiasi
Lewat lagu “Kita Hanya Sebentar,” keberanian Payung Teduh sajiin hal unik kembali muncul. Is bawain lirik dalam bentuk Soliloquy, alias sebuah permenungan yang disampein lewat monolog tepat intonasi.
Apabila Payung Teduh punya lebih bayak waktu, Is bisa merenung lebih lama, lebih dalam, dan lebih nelangsa sehingga monolog lagu itu benar-benar menyobek hati menyayat jiwa para fans.
Misalnya, seperti soliloquy Elvis Presley di lagu “Are You Lonesome Tonight” yang memaksa para fans patah hati meski sebenernya baru pada dapet gaji ketiga belas, empat belas, dan lima belas.
Dimusuhi waktu
Sebenernya, lagu “Selalu Muda,” “Mari Bercerita,” “Muram,” “Puan Bermain Hujan,” “Sisa Kebahagiaan,” dan “Kerinduan” menyimpan banyak banget potensi. Sayang, judul yang puitis itu gak diimbangi lirik yang matang dan punya pesan yang dalam.
Secara singkat dan padat, album “Ruang Tunggu” cuma ceritain satu hal: Payung Teduh sedang dimusuhi waktu. Mereka dibebani harapan tinggi para fans untuk tinggalin karya pemungkas dalam waktu yang terbilang sempit.
Seandainya saja asih tersisa enam atau tujuh bulan, seandainya aja tidak ada personil yang ingin cepat keluar, seandainya aja Payung Teduh tidak hanya sebentar…
(sds)