Genmuda – Apa jadinya kalo ada aplikasi yang bisa memprediksi kematian penggunanya? Apakah takdir hidup seseorang bisa dihindari? Inilah gambaran besar dari film “Countdown”.
Menggabungkan cerita horor, teknologi, dan drama keluarga, “Countdown” adalah debut film panjang pertama sutradara Justin Dec, yang juga merangkap sebagai penulis skenario. Penasaran sama cerita yang ditawarkan oleh film ini? Nih, Genmuda.com rangkum semuanya dalam review di bawah ini!
Horor di zaman digital
Film diawali dengan sekelompok anak muda yang sedang memainkan permainan di sebuah pesta. Ngerasa bosan dengan game yang sering dimainkan, mereka lantas menemukan aplikasi bernama “Countdown” yang dideskripsikan mampu memprediksi kapan penggunanya akan mati. Orang yang umurnya lebih pendek diwajibkan meminum beberapa gelas bir sebagai taruhannya.
Courtney (Anne Winters) jadi orang yang kalah dalam game ini lantaran ia diprediksi akan meninggal dalam beberapa jam kemudian. Walau teman-temannya terlihat santai, Courtney justru sebaliknya. Bersama cowoknya Evan (Dillon Lane), ia malah parno dan merasa hidupnya gak lama lagi.
Selang berapa menit, apa yang ditakutkan oleh Courtney berubah menjadi kenyataan. Meski dirinya selamat dari kecelakaan mobil yang dikendarai oleh Evan, namun ia malah tewas secara misterius di dalam kamar mandi rumahnya. Hanya Evan satu-satunya saksi yang percaya bahwa kematian pacarnya disebabkan oleh aplikasi “Countdown”.
Cerita kemudian pindah ke sebuah rumah sakit tempat Evan dirawat. Merasa frustasi dan ketakutan jelang operasi, Evan lantas menceritakan kegelisahannya kepada Quinn Harris (Elizabeth Lail), seorang suster magang. Sama seperti orang lain, Quinn awalnya menganggap cerita Evan hanyalah omong kosong dan hoaks semata. Namun kejadian mengerikan mulai dialami oleh Quinn setelah ia menginstall aplikasi tersebut. Belum lagi ia diprediksi akan meninggal dalam beberapa hari ke depan.
Manis di awal, ambyar kemudian!
Paruh pertama jalannya film penulis ngerasa jika film ini cukup menjanjikan membuat jantung penonton ‘sehat’ karena dikejutkan oleh deretan jump scare. Penonton langsung dibuat penasaran dengan latar belakang kejadian aneh yang menimpa pengguna aplikasi “Countdown”. Singkatnya lo seperti langsung digiring untuk terlibat dalam teror yang dirasakan oleh semua karakternya.
Sayangnya keberhasilan paruh pertama gak berjalan mulus di tengah hingga akhir film. Penekanan unsur drama keluarga Quinn dan pertemuannya ‘cinlok’ dengan Matt Monroe (Jordan Calloway) malah menjadi blunder dari jalan ceritanya datar. Meski diselingi jokes receh supaya penontonnya rileks, namun semua itu gak mampu menolong cerita film yang ‘sepertinya’ asal dibuat nabrak.
Alih-alih menawarkan cerita horor yang digabungkan sama teknologi, cerita karya Justin Dec ini malah terlihat gak masuk akal dan dangkal. Secara logika, masa iya sih ada aplikasi mencurigakan yang masih bisa lolos di pasaran? Atau yang paling konyol adalah adegan dimana sebuah mantra muncul secara panjang dan jelas dalam bahasa program. Serius, untuk lo yang awam bahasa programmer pun pasti paham betapa ‘bodohnya’ hal ini.
Kesimpulan
Dengan rentetan pendapat di atas, “Countdown” bisa diibaratkan sebagai film horor dengan cerita ‘ter-males’ yang pernah penulis tonton. Untuk segi chemistry para pemainnya pun terkesan biasa aja. Semuanya hanya murni menjual jump scare dan tampang pemeran utama yang cantik.
Kawan Muda mungkin bisa setuju atau engga dengan review di atas. Tapi satu pesan moral yang bisa lo dapat setelah menonton film ini adalah pentingnya buat membaca ‘syarat dan ketentuan’ yang berlaku sebelum memutuskan sesuatu dan jangan keseringan ketergantungan sama smartphone. Adapun catatan positif lainnya, ada pada scoring dan sound effect yang ‘noraknya’ mampu bikin lo sport jantung.