Genmuda – Setelah di-remake beberapa kali oleh Hollywood, kisah monster fiksi dari Jepang, Godzilla kembali digarap oleh Gareth Edwards, yang gak lain pernah membuat film Godzilla pada tahun 2014. Masih berlanjut dari film pertama, namun kali ini Godzilla bakal dipertemukan oleh musuh bebuyutannya yaitu Ghidorah.
Didominasi sama banyak efek GCI film ini sekaligus menjadi lanjutan dari proyek Monster Verse, yang udah digagas oleh Warner Bros beberapa tahun sebelumnya setelah menampilkan film “Godzilla” (2014) dan “Kong: Skull Island” (2017). Gimana keseruan dan menegangkannya film ini? Selengkapnya bisa kamu baca langsung di review berikut ini!
Ambisi naif umat manusia
Berlanjut dari film “Godzilla” (2014), Mark Russell (Kyle Chandler) dan Emma Russell (Vera Farmiga) harus kehilangan putra mereka dalam insiden tersebut. Lima tahun kemudian keduanya bercerai dan Emma mengasuh putri sematawayangnya, Madisson Russell (Millie Bobby Brown).
Dalam masa-masa susah move on Emma masih bekerja sebagai ilmuan di Monarch, –organisasi yang meneliti banyak monster di bumi, dan mengembangkan teknologi Orca sehingga bisa berkomunikasi langsung dengan para monster.
Saat berhasil ngembangin alat tersebut Emma dan Madisson malah harus berurusan dengan Jonah Alan (Charles Dance) teroris sekaligus mantan veteran Inggris yang ingin menjadikan para monster sebagai senjata bioterorisme.
Emma dan Jonah lantas sepakat buat kerjasama, karena Emma ngerasa kalo kematian putranya gak boleh sia-sia dan harus dibayar mahal dengan menghabisi setengah populasi manusia lewat bantuan para monster.
Kegilaan itu malah membawa bencana karena tanpa disadari mereka membangkitkan monster zero alias Ghidorah, monster kepala tiga. Kebangkitan Ghidorah ternyata ikut memicu kebangkitan monster lainnya di penjuru dunia.
King Ghidorah vs King Godzilla
Seolah ingin membuktikan kekuatan superior di antara para monster, Ghidorah digambarin sangat kuat lewat semburan listrik lewat ketiga kepalanya, sayap sebagai perisai, hingga punya kemampuan untuk menumbuhkan kembali organ tubuh yang telah hilang. Pokoknya kuat banget deh, gengs!
Gak cuma harus berhadapan one by one dengan Godzilla, Ghidorah juga gak segan buat membunuh monster lain kayak Monthra dan Rodan yang turut meramaikan pertempuran kedua raja monster tersebut di film ini.
Di sisi lain kita juga bakalan diajak buat ngelihat sisi lain dari sosok Godzilla. Mulai dari kenapa ia mau membantu umat manusia atau alasan ‘sains fiksi’ lainnya kenapa sosok kadal raksasa ini terlihat sakti meski udah dihajar habis-habisan oleh bom atom ataupun serangan Ghidorah.
Epik tapi gampang ditebak
Menawarkan cerita persaingan para monster dengan bumbu pencemaran lingkungan di bumi mungkin bukan sesuatu yang baru-baru banget. Ditambah lagi ada motif lain bahwa salah satu cara mengubah kondisi tersebut adalah dengan menghilangkan setengah populasi manusia sehingga bumi bisa pulih secara alamiah. Yah, mungkin premis kayak gitu udah sering banget kan kamu temuin di banyak film?
Selain menjadi pemicu kebangkitan Ghidorah, kehadiran keluarga Russell praktis cuma jadi bumbu drama keluarga yang ujungnya bisa kamu tebak sendiri bakal kayak gimana. Dibilang kompleks sih engga, tapi ya umum aja terjadi pada kondisi keluarga yang gak akur.
Namun demikian drama paling menyentuh justru ada pada sosok Dr. Ishiro Sherizawa (Ken Watanabe) yang secara heroik ngegambarin ikatan kuat antara manusia dengan Godzilla buat ngedukung satu sama lain.
Kesimpulan
Pendekatan cerita Godzilla dengan kehidupan masyarakat modern mungkin cuma jadi pembuka di film ini, selebihnya kamu bakal disuguhin sama aksi baku hantam antara monster untuk menduduki tahta paling atas. Dibanjiri efek CGI, penulis ngerasa kamu gak bakalan rugi buat nonton film ini dalam bioskop yang punya format audio visual yang kece.
At least but not last, film ini juga masih punya satu cuplikan after credit scene yang menjadi sinyal kuat dari kelanjutan proyek MonsterVerse “Godzilla vs Kong”. Penasaran? Tonton aja dulu film “Godzilla: King of the Monsters” mulai tanggal 29 Mei 2019 di Indonesia.